Belum ada jet tempur selaku MiG-21. Pemakainya puluhan negara. Terbang pertama kali tahun 1958, hingga kini masih banyak negara yang menggunakannya. Rekor pembuatannya hanya bisa disetarakan dengan P-51 Mustang. Bagi Indonesia sendiri, MiG-21 pernah digunakan sebagai alat diplomasi.
Ini adalah cerita Doug Richardson, penulis pesawat militer terkenal asal Amerika. Ketika sedang duduk-duduk minum kopi dengan seorang test-pilot jet tempur kawakan di sebuah kedai dalam suatu pameran kedirgantaraan di Eropa beberapa tahun lalu, ia mengajukan pertanyaan yang sudah lama mengusik dirinya. Pertanyaannya sederhana saja: "Mana di antara pesawat tempur kategori Mach 2 yang paling Anda sukai, MiG-21 atau Mirage III?
Sekejap sang pilot uji tertegun, keningnya mengernyit, berusaha keras mencerna seraya mengulang kembali pengalaman dalam ingatannya, dan pertanyaan itu pun dijawabnya. Diplomatis. "Terus terang, cukup sulit jika harus memilih Mirage atau MiG," katanya membuka.
"Namun kalau boleh saya katakan, di masa damai ini saya akan lebih suka memakai Mirage. Buatan Perancis ini lebih comfort dan memiliki kokpit lebih hebat dari MiG. Akan tetapi dimasa perang saya akan pilih MiG. Mengapa? Itu karena jet yang satu ini memiliki kemampuan manuver yang amat tinggi. MiG-21 akan membawa seorang pilot tempur sampai ke ujung kemampuannya."
Doug Richardson pun lega mendengarnya. Ganjalannya terjawab sudah. Jawaban sang pilot uji, baginya, sudah cukup sebagai legitimasi kedigdayaan jet yang selama ini kerap dijelek-jelekan Barat itu. Sosoknya memang amat sederhana, seperti selonsong peluru dengan sayap delta, namun semua orang akan tercengang jika menyimak reputasinya. Sejak dioperasikan pada tahun 1958, telah 10.000 unit diterbangkan sekitar 40 negara, dan sampai kini pun masih ada sejumlah negara yang menggunakannya. Tak ada sebuah pun jet tempur Barat yang sanggup menandinginya. Sekalipun itu F-16. MiG-21 memang layak disebut jet legendaris kalau tidak sebagai yang terklasik.
Dalam dunia kedirgantaraan, hanya P-51 Mustang dan Sopwith Camel yang bisa menyaingi popularitasnya. Produksi Mustang berhasil mencapai 15.000 unit!
Uniknya, dari berbagai buku-buku yang memuat kisah-kisah pesawat militer dunia, Barat tak pernah mengakui kehebatan 'legenda dari timur' itu secara eksplisit. Namun, tidak secara implisit. Hal ini terbukti dari dibentuknya sekolah tempur bagi para penerbang Angkatan Laut AS, 'Top Gun', serta untuk Angkatan Udara AS, 'Aggressor', pada tahun 1960-an. Seperti diakui dua aces AS dari Perang Vietnam, Kolonel Robin Olds dan Randall Cunningham dalam Vietnam Air War Debrief (1996), keduanya tak lain dibentuk karena MiG-21 telah menjadi ancaman serius bagi para penerbang tempur AS di atas Vietnam. Modifikasi F-4 Phantom menjadi F-4E pun direkomendasikan demi mengimbangi letalnya kanon MiG-21.
Lebih spesifik lagi, baik Olds maupun Cunningham mengatakan, kehadirannya memperkuat jajaran MiG-17 AU Vietnam Utara telah mengubah kill-ratio yang pernah diperoleh dari ajang perang udara di atas Korea Utara, yakni 15:1, menjadi hanya 2:1 di atas Vietnam Utara. MiG-21 memang tak pernah benar-benar mendulang kemenangan telak terhadap lawan-lawannya dari Barat, namun kehadirannya bak 'kerikil tajam' di tengah jalan.
Di kedua sekolah khusus tersebut, 'kegalakan' MiG-21 diperankan A-4F Skyhawk, T-38 Talon, dan F-5E Tiger II.
Penghadang Pembom AS
Dalam kilasan sejarahnya, kisah perancangan MiG-21 sendiri tak bisa lepas dari dua peristiwa penting yang terjadi di Eropa pada tahun 1950-an. Amat erat kaitannya dengan tensi Perang Dingin yang kala itu tengah merambat naik. Peristiwa itu, pertama, pembentukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada 1949, sebagai bukti persekutuan AS dengan sejumlah negara Eropa untuk mengurung setiap gerak-gerik Uni Soviet. Dan, kedua, adalah ditanda-tanganinya Pakta Warsawa oleh para pimpinan Uni Soviet dan enam negara Eropa Timur pada tahun 1955 sebagai respon terhadap pembentukan NATO.
Pada saat itu, masing-masing lalu cenderung membuat penafsiran sepihak terhadap makna dan bentuk ancaman strategis yang bakal timbul. Bagi kacamata Barat (NATO), ancaman ini secara umum bisa diringkas sebagai ancaman komunis terhadap Eropa Barat. Sementara, bagi Blok Timur sendiri, ancaman itu bisa diterjemahkan sebagai potensi serbuan senjata nuklir yang bisa sewaktu-waktu menembus wilayah Soviet dan sekutunya. Singkat kata, sejak itu, memang tak pernah ada rasa damai lagi di antara keduanya.
Ditandatanganinya Pakta Warsawa, seperti kilah para pejabat Soviet, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kabar pembuatan 2.000 pembom strategis B-47 yang tengah dikejar Boeing pada tahun 1952, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penempatan pembom B-52 Stratofortress dalam jumlah banyak di Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat. Untuk apa lagi jika tidak untuk menghantam kekuatan Soviet dan para sekutunya? Kecemasan ini nampaknya menjadi tak terbendung terutama setelah mengetahui kinerjanya. Pembom-pembom itu mampu menjelajah hingga Mach 1. Bagi AU Soviet, ini jelas akan membuat keteteran jajaran pertahanan udara Timur yang terdiri dari MiG-15, MiG-17, dan MiG-19. Mereka kalah cepat.
Untuk menghadapinya, Soviet pun segera merancang pesawat tempur yang memiliki kemampuan menghadang (intercept) serangan armada pembom strategis AS tersebut. Menurut batasan para ahli aviasi, pesawat ini harus mampu melesat hingga ketinggian 66.000 kaki dengan kecepatan Mach 2 (dua kali kecepatan suara). Dua persyaratan ini jelas diarahkan untuk menghadang B-52 yang bermesin jet delapan buah itu.
Ringkas kata, sang interceptor harus berkategori supersonik. Ini adalah prioritas yang harus dipenuhi, meski kala itu tekniknya masih tergolong baru. Maka, atas arahan MAP's Central Aero-Hydrodynamics Institute (TsAGI) dirancanglah pesawat tempur berbadan ramping, berbahan bakar seperlunya, serta mampu menanjak dengan kecepatan dan akselerasi tinggi. Selain itu dia juga dirancang mampu melakukan misi kombatan di udara dan memiliki toleransi yang tinggi dalam modus pendaratan dan lepas-landasnya. Sebagai 'taring', dia akan dibekali rudal (salah satu di antaranya, adalah rudal udara ke udara K-13A atau AA-2 Atoll) dan kanon. Dan, adalah biro Mikoyan-Gurevich yang kemudian dipercaya merealisasikannya.
Singkat cerita, setelah menjalani seleksi terhadap empat prototip, muncullah 'Ye-6' sebagai kandidat yang paling unggul. Bentuknya sederhana, mirip selongsong peluru bersayap delta, sehingga dari jauh mirip sekali dengan anak panah. Dialah cikal-bakal MiG-21 yang kemudian berhasil terbang memuaskan untuk pertama kalinya pada Juni 1956.
Jet diplomasi
Seperti laiknya dua musuh yang tengah bersitegang, berita tentang MiG-21 pun segera bikin heboh rekan-rekan AS di Eropa. Lewat foto mata-mata yang buram, penampilan MiG-21 sebenarnya tak perlu meresahkan AS yang unggul dalam dunia kedirgantaraan. Namun, beberapa pengamat kedirgantaraan, memberi catatan khusus: Mikoyan-Gurevich telah berhasil memadukan mesin turbojet ampuh Tumanski R-11 berkekuatan 11.240 pon pada mesin perang berharga murah yang beratnya cuma 8.200 kilogram.
Lalu apa artinya ini? Pengamat itu pun menambahkan, "Jika benar paduan tersebut menghasilkan thrust to weight ratio hingga 5:1, MiG-21 praktis akan menjadi supersonik tergesit yang harus diwaspadai Barat." (baru pada 1974, bisa disaingi F-16 dengan TWR 6,2:1)). Seperti kebiasaannya, NATO pun segera memberi julukan terhadap pesawat tempur yang baru lahir ini. Fishbed, terkesan buruk memang.
Sejarah mencatat, jet Tumanski itu pula yang selanjutnya kerap membuat penerbang tempur AS di Vietnam kelabakan. Pasalnya, berbeda dengan mesin Phantom, dia hampir tak mengeluarkan jejak asap tanda yang biasa dijadikan pegangan untuk melacak kehadirannya di udara. Lebih dari itu, sosoknya yang kecil telah membuat Phantom AS kerap kecolongan. Dan harus diakui, sebenarnya MiG-21 pulalah yang kemudian mengilhami perancang General Dynamic dalam penciptaan F-16 Fighting Falcon yang kini mashyur itu.
Sebuah kisah spionase menceritakan, karena rasa ingin tahu yang begitu dalam pada tahun 60-an AS pernah mengontak 'sahabatnya' di Timur Tengah, yakni Israel, untuk mencuri sebuah MiG-21 untuk kemudian ditelusuri kelemahannya. Namun upaya ini tak pernah berhasil meski Israel berhasil 'menculik' sebuah dari Irak. Israel tak pernah benar-benar menyerahkannya. (Baca juga: Menculik MiG-21 dari Baghdad)
Di luar Soviet, pemakai pertama Fishbed tentu saja para anggota Pakta Warsawa. Adanya keterikatan membuat mereka perlu mengakuisisi dalam jumlah yang begitu mengagumkan. Bayangkan saja, Polandia membeli sampai 410 unit, Jerman Timur 232, Cekoslovakia 350, Rumania 150, dan Bulgaria 80. AU Soviet sendiri, pada tahap pertama, langsung merekrut 780 unit.
Dalam daftar pemesan non Pakta Warsawa sendiri, yang menarik untuk disimak adalah bahwa Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang dipercaya menggunakannya.
Pada tahun 1962, persisnya melalui pendekatan politik, Indonesia menerima 20 MiG-21F Fishbed C dalam suatu paket senilai 2,5 milyar dollar yang di dalamnya juga terdiri dari 10 MiG-19 Farmer berikut 26 pembom strategis Tu-16 Badger. Khusus menyangkut Tu-16: Indonesia bahkan tercatat sebagai negara pertama di luar Soviet yang dipercaya memanfaatkannya. Tak pelak, kehadirannya memang segera membuat kalang-kabut sejumlah negara pro-Barat yang kala itu memiliki kepentingan di Indonesia.
Jet diplomasi. Begitulah sementara pihak menilai kedatangan 20 MiG-21 yang selanjutnya memperkuat Skadron 14 Wing 300 Kohanudnas, yang markasnya terletak di Lanud Iswahyudi, Madiun. "Harus diakui, jet-jet ini memang digunakan Presiden Soekarno untuk menekan pendudukan Belanda di Irian Barat, setelah sekian upaya diplomasi sejak KMB diumumkan (1949) tak pernah membuahkan hasil," ujar Marsda TNI (Pur) RJ Salatun, mantan Sekretaris Gabungan Kepala Staf, salah seorang anggota tim yang dikirim RI untuk melakukan pembicaraan mengenai paket pembelian senjata tersebut di Istana Kremlin, Moskow, pada tahun 1961.
Salatun juga membenarkan, bahwa pemesanan senjata itu adalah juga merupakan bukti kekesalan Bung Karno terhadap ikut 'main apinya' Badan Intelejen AS, CIA, dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Keterlibatan ini terkuak setelah penerbang Mustang AURI, Kapten Udara Ignasius Dewanto berhasil menembak B-26 Invader Aurev pada 18 Mei 1958 yang ternyata diterbangkan seorang agen CIA bernama Allan Pope.
Walau tak pernah digunakan secara nyata dalam Operasi Pembebasan Irian Barat (Trikora) secara tak langsung kehadiran senjata dari Soviet itu diakui telah memberikan pengaruh yang nyata. Belanda akhirnya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 15 Agustus 1962. Kehadiran MiG-21 kabarnya juga sempat mengurungkan niat pesawat-pesawat Aurev yang pernah berencana untuk menyerang Pindad dan pangkalan udara di Bandung.
Setelah Indonesia, negara selanjutnya yang juga menjadi operator efektif MiG-21 adalah India (1963), Vietnam Utara (1965), Mesir (1967), Suriah, dan Irak (1973). Negara-negara inilah yang sesungguhnya mengoptimalkan kemampuan Fishbed untuk misi-misi keudaraan (kombatan maupun pencegatan) yang sesungguhnya. India menggunakannya untuk melawan F-104 Pakistan. Vietnam Utara untuk menghadang F-4 Phantom AS. Mesir dan Suriah memanfaatkannya untuk menyergap Phantom dan Mirage Israel. Dan, Irak memakainya untuk mencegat pesawat-pesawat tempur Iran.
Dalam upaya mengikuti perkembangan kondisi di medan pertempuran dan seperti juga dilakukan industri pesawat lainnya, biro Mikoyan-Gurevich beberapa kali melakukan perbaikan terhadap MiG-21. Dari sinilah lalu muncul varian-variannya. Sebagai contoh, bentuk awal MiG-21 Fishbed-A, beberapa tahun kemudian dipoles menjadi Fishbed-B, lalu MiG-21F Fishbed-C (yang kemudian ditiru Cina menjadi Xian J-7), MiG-21PF Fishbed-D, MiG-21FL, MiG-21 PFS, MiG-21PFM Fishbed-F, MiG-21 PFMA Fishbed-J, MiG-21RF Fishbed-H (intai), dan MiG-21SMT (bertangki lebih besar). Juga dikeluarkan versi latih, seperti MiG-21U Mongol-A, MiG-21US Mongol-B, dan MiG-21UM. Soviet akhirnya menutup produksi supersonik klasik ini pada tahun 1987.
Friday, April 4, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment