Wednesday, April 9, 2008

Dari Sputnik Hingga Ruang Angkasa

Kepedulian umat manusia terhadap benda-benda langit dan struktur ruang angkasa ternyata telah ada sejak masa Sebelum Masehi. Bangsa pertama yang tertarik dengan bidang ini adalah Cina. Sejak 2300 SM, mereka telah mencatat Gerhana Matahari, supernova, dan komet. Selanjutnya ikut peduli pula bangsa Mesir, Aztek, dan Yunani.
Ilmu keruangangkasaan sendiri mulai menggeliat setelah Galileo Galilei memperkenalkan teleskop pertama di dunia pada 1608. Kemampuan lensanya menjangkau benda-benda langit makin menumbuhkembangkan minat sejumlah ilmuwan untuk mengetahuinya lebih dalam. Terlebih ketika dalam perkembangannya, kemampuan teleskop menjadi semakin sempurna dan canggih. Manusia tak hanya ingin melihat dari kejauhan, tapi juga ingin mengunjungi. Setelah bulan berhasil dikunjungi, manusia selanjutnya ingin mengunjungi Mars planet yang diyakini mirip Bumi.
Upaya ke arah itu tak lepas dari kepeloporan orang-orang seperti Hermann Oberth, Robbert H. Goddard, dan Wernher von Braun. Ketiga ilmuwan inilah yang menciptakan wahana pelontar ke luar orbit Bumi. Entah ada pengaruhnya atau tidak, mereka adalah penggemar novel fiksi-ilmiah macam From Earth to the Moon, karya Jules Verne (1865) dan The War of the Worlds karya HG Wells (1898).
Peluncuran roketV-2/Frontier of Flight Era penjelajahan ruang angkasa dimulai dengan upaya Robert H. Goddard memperkenalkan roket mungil untuk uji statis di Worcester Polytechnic Institute pada tahun 1908. Roket ini dari jenis roket berbahan bakar padat. Obsesinya menciptakan roket, diungkapnya, begitu berkobar setelah pada umur belasan tahun ia menuntaskan novel The War of the Worlds.
Konsep-konsepnya makin terarah ketika empat tahun kemudian, Goddard berhasil memaparkan secara detil persamaan matematik tentang roket berkekuatan seperti apa yang bisa melontarkan wahana ke luar Bumi. Ia begitu serius, terutama setelah pada 1912, pihak Otoritas Patent AS memberinya pengakuan terhadap desain roket bertingkat berbahan-bakar cair karyanya.
Ada kejadian lucu. Dalam sebuah pengujian bahan bakar roket di Laboratorium Wocrester pada 1916, Goddard pernah ditinggal kabur staf-stafnya gara-gara bahan yang dipakai dicampur dengan bubuk mesiu. "Tak mungkin memotong keinginan Goddard. Maka lebih baik kita saja yang kabur," begitu kata seorang stafnya.
Melihat keinginannya yang begitu menggebu-gebu, Institusi Smithsonian kemudian memberinya dana untuk melakukan riset lebih jauh mengenai roket. Dan, namanya tiba-tiba saja mendunia setelah makalahnya yang berjudul 'A Method of Reaching Extreme Altitude' diterbitkan dalam sebuah jurnal ilmiah pada 1919. Didalamnya, ia memaparkan bagaimana cara manusia mencapai Bulan. Saat itu pula Goddard dikenal sebagai 'The Moon-Rocket Man'.
Pada masa itu Jerman juga memiliki seseorang mirip Goddard. Dia adalah Hermann Oberth. Adalah suatu kebetulan jika pemahamannya pada bidang peroketan terbilang setingkat. Ia juga sama-sama penggemar novel fiksi-ilmiah. Yang paling disukainya adalah From the Earth to the Moon karya Jules Verne. Lewat novel inilah ia menjadi begitu terobsesi.
Tak terperikan minatnya itu. Pada usia 15 (1909), Oberth telah mampu merancang roket bertingkat berbahan bakar padat. Ia begitu tekun, hingga akhirnya pada tahun 1917, Oberth berhasil menuntaskan konsep roket jarak jauh berbahan bakar cair setinggi 82 kaki yang telah dilengkapi stabiliser giroskopis komponen paling rumit yang dimasa datang menjadi atribut utama rudal jelajah. Hanya ironisnya, konsep yang kemudian ditujukan AB Jerman untuk memenangkan PD I ini, ditolak mentah-mentah. AB Jerman menganggapnya terlalu mengada-ada.
Oberth mungkin memang terlampau jenius, hingga tak banyak orang bisa memahami jalan pikirannya. Ini terjadi pula ketika thesis doktornya tentang penerbangan ruang angkasa, ditolak pengujinya. Namun ia tak patah arang. Pada 1923, isi thesis ia tuangkan dalam bahasa populer ke dalam buku: 'Die Rakete zu den Planetenraumen', atau 'The Rocket into Planetary Space'.
Menurut kurator Museum Smithsonian, Frank Winter, buku tersebut mendapat sambutan luas. Sambutannya bahkan melebihi yang diterima Tsiolkovsky (ahli roket Rusia) dan Goddard. Oberth-lah yang kemudian dianggap mengantar umat manusia menuju Era Ruang Angkasa (Space Age) yang sesungguhnya.
Masa-masa pengujian
Ketika segenap konsep dan teori telah dipaparkan, pada masa yang hampir bersamaan namun di tempat yang berbeda, yakni sekitar 1920-an, Goddard dan Oberth mulai melakukan pengujian serius terhadap konsep-konsepnya. Diantara mereka tak pernah ada kontak. Jadi adalah suatu kebetulan jika kedua ilmuwan melakukannya hampir bersamaan.
Konsep Oberth sendiri dinilai lebih kaya, namun Goddard telah lebih dulu melakukan eksperimen. Pada 17 Juli 1929, misalnya, Goddard telah melakukan uji peluncuran ke-empat, sementara Oberth masih sibuk mengurusi Yayasan Roket Jerman (Verein fur Raumschiffarht/VfR)-nya. Berbeda dengan Goddard yang juga bisa terjun ke 'lapangan', Oberth hanyalah tipe ilmuwan yang kuat dalam segi teori. Itulah sebabnya ia sangat tergantung pada staf-stafnya yang kebetulan amat handal. Mereka adalah Max Valier, Walter Hohmann, Rudolf Nebel, Guido von Pirquet, Klaus Reidel, Kurt Hainish, Willy Ley, dan Wernher von Braun.
Benar saja. Sekitar 1930-an, gerak cepat VfR yang selanjutnya berubah menjadi VfR Raketenflugplatz telah berhasil meluncurkan ratusan roket. Semuanya dari jenis roket ilmiah.
Sejarah roket Jerman mulai berubah ketika pada 1932, German Wehrmacht salah satu lembaga riset AB Jerman, 'membajak' von Braun, staf VfR paling brilian. Ketika itu, lulusan Institut Teknologi Berlin ini masih berumur 20 tahun. Lembaga ini sendiri tak lain adalah jelmaan keinginan Hitler untuk perang-perang yang dibuatnya. Maka tak heran jika seluruh programnya disusun begitu rahasia dan hanya untuk kepentingan militer.
Sementara itu pada tahun yang sama, Goddard memiliki pusat ujinya yang baru di Ranch Mescalero, dekat Roswell, New Mexico, milik jutawan Daniel Guggenheim. Kepindahan ini atas dukungan Charles A. Lindbergh, tokoh pemegang rekor penerbangan trans-atlantik. Tempat barunya ini amat disukai, karena begitu terpencil dan jauh dari jangkauan wartawan 'makhluk' yang amat dibencinya. Di tempat yang sunyi ini Goddard dan timnya bisa bekerja lebih baik dan berhasil meluncurkan sejumlah roket. Salah satu yang tersukses, roket seri-A berbahan bakar cair setinggi 4,7 meter, meluncur pada 26 Agustus 1937 mencapai ketinggian 2.316 meter.
Dua tahun kemudian, yakni pada 1941, Goddard membangun yang lebih besar: seri-P setinggi 6,7 meter. Namun, karena kesalahan dalam sistem pompa bahan-bakarnya, roket ini gagal meluncur. Namun begitu, roket seri-P inilah yang pada dekade 60-an dipilih NASA untuk mengirim astronotnya ke bulan.
Ironisnya, karena tak pernah jelas apa manfaat yang bisa dipetik Pemerintah AS pada masa itu, riset Goddard yang dikenal padat biaya itu pun akhirnya menyurut. Nasibnya menjadi lebih parah terutama ketika Angkatan Bersenjata AS menilai, tak banyak kegunaan nyata dan aktual yang bisa didukung dari risetnya itu. Kerja Goddard pun menjadi semakin anti-klimaks. Diakhir kekaryaannya Goddard 'hanya' bisa menyumbangkan JATO (roket pendorong pesawat terbang) dan Curtiss-Wright roket pendorong Bell X-2 hingga bisa melaju sampai mach 3.
V2 von Braun
Goddard kedua dari kiri bersama pembantunya di depan roket/Frontier of Flight Berbeda dengan yang dialami von Braun dan timnya. Mereka justru meroket dengan roket berstabilisasi giroskopis A-3nya setinggi 137 cm yang berhasil melesat sempurna pada pertengahan 1933. Roket-roket selanjutnya yang diuji di wilayah Kepulauan Borkum, di Laut Utara, juga merupakan suskes yang lain. Rata-rata bisa mencapai ketinggian 2.000 meter. Dengan gembira Hitler menyaksikan keberhasilan tersebut, dan Wehrmacht-pun dipindah ke tempat yang lebih memadai walau dengan pengawasan yang lebih ketat. Tempatnya di Peenemunde, di Kepulauan Usedom, Baltik.
Hanya sedikit orang yang bisa menafsirkan senyum Hitler saat itu. Sejujurnya, Hitler menyaksikan roket-roket tersebut sebagai cikal-bakal senjata udara baru yang amat dahsyat. Dan, ia amat membutuhkannya dalam Perang Dunia II yang tengah ditapakinya. Kegembiraannya makin memuncak ketika pada Desember 1937 Wehrmacht berhasil meluncurkan A-3, roket setinggi 7 meter berkekuatan 14.680 Newton. Roket ini begitu mempesona karena telah dilengkapi pengendali giroskopis tiga-axis, radio pengontrol bahan bakar, servo, dan masih banyak lagi peralatan canggih lainnya.
Tak heran, jika dari Peenemunde pula kemudian muncul V-2, roket balistik letal yang kemudian diproduksi secara massal untuk memporakporandakan London pada 1944. Kinerjanya lebih-kurang mirip Scud-nya Rusia. Sejarah mencatat, sejak September 1944, Jerman telah 'mengirim' 4.320 V2 ke London, dimana 1.120 diantaranya berhasil mengenai sasaran hingga menewaskan 2.511 orang, dan melukai sedikitnya 6.000 orang.
Suksesnya dibidang roket ini sendiri selanjutnya menimbulkan niat berlebih untuk membangun A-9/10 roket setinggi 24,4 meter berkekuatan 440.000 pon. Hitler memang keterlaluan. Roket yang bisa melaju hingga mach 4,4 ini sedianya akan 'dikirim' untuk menghancurkan New York! Namun Jerman juga memiliki keinginan yang luhur, yakni membangun A-11 roket yang dirancang bisa melontarkan satelit. Roket ini ditargetkan meluncur pada 1947.
Akan tetapi, semua niat itu kandas setelah tanpa diduga dalam PD II Jerman mendapat hantaman yang begitu keras dari Sekutu. Pada Mei 1945, ketika PD II dinyatakan berakhir, Wernher von Braun serta teknisi-teknisi roket Jerman lainnya pun digiring ke Amerika.
Dalam sebuah pemeriksaan, percaya atau tidak, satu-satunya orang yang paling antusias mengintrogasi mereka adalah Robert Goddard. Ia menuduh mereka habis-habisan sebagai 'pencuri' buah pikirannya. Itu karena hampir semua roket Jerman disimaknya memiliki prinsip yang sama dengan roket-roket bikinannya. Goddard yakin sekali, ini bukanlah suatu kebetulan.
Diantara orang-orang Jerman ini Goddard akhirnya berhadapan dengan Walter Dornberger, bos von Braun. Kepada pemeriksanya ini, Dornberger hanya mengatakan, "Saya amat senang berhadapan dengan Anda, seorang ahli roket yang selama ini ingin sekali saya temui. Dengan bertemu, kita bisa berbicara banyak tentang berbagai riset. Hanya saya sedih sekali dengan nasib Anda. Amerika tak pernah memanfatkan kemampuan Anda dengan sebaik-baiknya."
Goddard pun hanya bisa tertegun. Pionir Roket Dunia ini wafat pada 10 Agustus 1945. Kata-kata Dornberger benar-benar membekas dalam dirinya. Di tengah kebesaran bangsanya, Goddard memang telah merasa dikecewakan Pemerintah AS yang tak memberinya kesempatan seluas-luasnya untuk merealisasikan obsesinya. Terutama untuk roket besar yang bisa mengantar manusia ke ruang angkasa.
Perjalanan ke bulan
Pukulan kedua untuk AS adalah ketika kosmonot Soviet Yuri Gagarin mengorbit Bumi/L'espace Habite' Sovietique Kepergian Goddard dan masa-masa pemulihan paska Perang Dunia II membuat Amerika 'beristirahat sebentar' dalam riset ruang angkasanya. Hampir tak ada kegiatan berarti antara 1945 hingga 1950.
Dinamika baru kembali terasa setelah sekitar 1950-an Wernher von Braun dikaryakan pemerintah AS untuk berkeja dalam program ruang angkasa untuk kepentingan sipil. (Belakangan ia sempat menjadi Kepala Pusat Ruang Angkasa Marshall, NASA, dan terlibat banyak dalam perancangan Saturn roket raksasa pendorong Apollo.)
Pada tahun 1952, ia melontarkan gagasan yang kemudian menggugah bangsa Amerika. Dalam majalah ilmiah Collier, von Braun menulis tentang impiannya mendirikan stasiun ruang angkasa di bulan dan planet Mars. Tulisan ini menjadi lebih menarik setelah Charles Bonestell, Rolf Klep, dan Fred Freeman, berhasil melengkapinya dengan diskripsi futuris. Yakni, sebuah stasiun berbentuk roda yang tengah mengawang-awang di atas Bumi dengan sebuah pesawat ulang-alik sayap delta yang tengah berusaha menghampirinya.
Lukisan 'Crossing the Last Frontier' yang terpampang dalam Collier edisi 22 Maret 1952 itu pun segera dibakukan menjadi impian bangsa Amerika yang harus direalisasikan. Dengan roket-roketnya, von Braun sendiri yakin semua itu bisa jadi kenyataan.
Akan tetapi Amerika nampaknya terlampau percaya-diri dan yakin tak ada bangsa lain yang bisa merengkuhnya. Keyakinan ini tiba-tiba saja terguncang ketika tanpa diduga pada 4 Oktober 1957 Uni Soviet meluncurkan Sputnik satelit pertama di dunia yang berhasil diluncurkan ke orbit Bumi. Tak kurang dari Presiden Eisenhower sendiri sempat murka dengan kekurangwaspadaan badan intelejennya, CIA.
Di hadapan senat, giliran Eisenhower yang jadi sasaran kritik. Tentang terobosan Soviet itu, Senator Lyndon Johnson berkomentar, "Pertama di ruang angkasa, akan menjadi pertama pula dari segala-galanya."
Dengan segala upaya Johnson pun memprakarsai didirikannya Badan Ruang Angkasa AS (NASA) pada 1958. Maksudnya, agar seluruh kegiatan menjadi terkoordinasi. Dan, setahun kemudian Eisenhower mendukungnya dengan memerintahkan Tim von Braun untuk mendesain sebuah roket pelontar besar, Saturn. Namun sang presiden tak pernah memberi pernyataan jelas. Roket pelontar untuk apa? Serius atau hanya sekadar untuk konsumsi politiknya?
Dalam kesimpangsiuran tersebut AS 'hanya' berhasil meluncurkan satelit: Explorer 1 pada 1958 ke orbit Bumi, sebagai alat pencatat sabuk radiasi yang menyelimuti Bumi; TIROS 1 pada 1960 untuk memotret cuaca Bumi dari orbit; dan Echo 1 pada 1960 sebagai stasiun siaran tunda radio dan TV di ruang angkasa.
Di tengah kebingungan tersebut, Uni Soviet tiba-tiba kembali 'memukul' AS dengan keberhasilannya mengirim manusia pertama ke ruang angkasa pada 12 April 1961. Kosmonot yang namanya tercatat dalam sejarah ini adalah Yuri Gagarin.
Tak mau tertinggal untuk ketiga kalinya, presiden AS saat itu John F. Kennedy segera pasang kuda-kuda. Saat itu pula ia segera menghentikan 'permainannya' di Kuba, dan banting stir memikirkan cara untuk membangkitkan prestis bangsanya.
Pada 20 April 1961, Kennedy kemudian mengirim surat kepada Wapres Lyndon Johnson. Di antara isinya adalah: "Apakah kita punya kesempatan untuk memukul balik Soviet, misalnya dengan menempatkan semacam laboratorium atau melakukan perjalanan ke bulan, atau mendaratkan roket di Bulan? Apakah ada program ruang angkasa lain yang lebih dramatis yang bisa membuat kita menang dari apa yang telah dilakukan Soviet?"
Lomba angkasa luar
Februari 1981 AS menjadi negara pertama yang mengoperasikan pesawat ulang-alik/Rockwell Memo Kennedy tersebut rupanya seperti bahan pelumas. Tiga minggu kemudian, lewat Proyek Mercury pada 5 Mei 1961 AS berhasil melontarkan Alan B. Shepard (37), astronot pertamanya ke sub-orbital Bumi. Meski hanya 15 menit 22 detik, Kennedy yakin NASA bisa mengejar ketertinggalannya. Maka, pada 25 Mei 1961, setengah berjanji ia pun berujar di hadapan kongres: "Saya percaya bangsa ini bisa memenuhi komitmennya, bahwa sebelum dekade ini berakhir kita sudah bisa mengirim manusia ke Bulan dan memulangkannya kembali dengan selamat."
Dari Proyek Mercury itu pula meluncur pahlawan AS lainnya, John H. Glenn, Jr. (40) astronot pertama AS yang berhasil tiga kali mengelilingi orbit Bumi. Proyek yang mencakup tujuh peluncuran astronot ini secara umum dilakukan untuk melatih kemampuan AS melontarkan/menempatkan manusia ke/di orbit Bumi. Setelah proyek ini ditutup 15 Mei 1963, NASA melanjutkannya dengan Proyek Gemini program untuk melatih astronotnya melakukan misi di ruang angkasa. Seluruhnya ada sepuluh kali peluncuran Gemini, dilakukan antara 23 Maret 1963 hingga 15 November 1966. Seluruhnya terbilang memenuhi harapan, sukses dan tanpa kesalahan berarti.
Diantara sukses Gemini itu sendiri, setelah melalui peluncuran puluhan satelitnya, pada 3 Februari 1966, Soviet berhasil meluncurkan Luna 9, wahana tanpa awak pertama di dunia yang singgah di Bulan.
Memasuki tahun 1967, mulailah AS mengambil ancang-ancang untuk mendaki salah satu puncak program ruang angkasanya. Tujuan dari program bernama Apollo ini adalah mengirim manusia ke Bulan dan melakukan beberapa misi eksplorasi di sana. Perencanaan telah dimulai sejak 1957, dan memasuki tahun 1967 itu juga seluruh aspek teknis telah siap. Dalam proyek inilah kehandalan roket tiga tingkat Saturn V setinggi 363 kaki hasil rancangan Tim von Braun akan diuji.
Ibarat agak demam panggung, meski telah menuntaskan Mercury dan Gemini tanpa kesalahan, Apollo dibuka dengan sebuah tragedi. Dalam uji peluncuran Apollo 1 pada 27 Januari 1967 terjadi sebuah kesalahan yang membuat astronotnya: Ed White II, Gus Grissom, dan Roger Chaffe, tewas terpanggang di dalam kabin Apollo. NASA pun menunda peluncurannya hingga setahun lebih. Namun, baik NASA maupun para astronotnya sendiri tak pernah mundur dengan kejadian tersebut. Sebab, seperti pernah dikatakan Grissom, mereka sadar betul tengah berada dalam suatu pekerjaan yang berisiko tinggi.
"Oleh sebab itu, jika saya mengalami kecelakaan dan meninggal, saya harap masyarakat Amerika bisa menerimanya," ujar Grissom.
Apollo pertama baru berangkat 11 Oktober 1968, dengan astronot Donn Eissle, Wally Schirra, Jr, dan Walter Cunningham. Sukses. Namun hingga empat peluncuran Apollo, NASA baru menggunakannya untuk melatih membiasakan diri dengan lingkungan Bulan.
Misi pendaratan ke bulan sendiri baru dilaksanakan lewat Apollo 11. Dari peluncuran 16 Juli 1969 ini, sejarah mencatat Neil Amstrong dan Edwin Aldrin sebagai manusia pertama yang berhasil menginjakkan kakinya di Bulan. Apa yang dicanangkan Kennedy pada 25 Mei 1961 itu pun tercapai. Sebelum akhir dekade 60-an, AS telah berhasil mengunjungi Bulan dan mengembalikan astronotnya dengan selamat ke Bumi. Untuk sementara AS pun memimpin misi keruangangkasaan dunia. Misi ke Bulan ditutup Apollo 17 yang diluncurkan pada 7 Desember 1972.
Berakhirnya Apollo memberi keyakinan, bahwa dengan perlengkapan tertentu manusia bisa bekerja di luar wahana sebuah langkah yang bisa digunakan untuk misi perbaikan atau pendirian bangunan di ruang angkasa.
Diantara kesibukan Mercury, Gemini, dan Apollo, AS berkali-kali mengirim satelitnya. Telstar 1 (1962), satelit sinkronus pertama Syncom 2 (1963), OAO 2 untuk pengamatan bintang (1968), pendeteksi ledakan atom Vela 2 (1970), dan satelit telekomunikasi Intelsat IV (1971).
Disamping serial Luna yang mencapai Luna 24, hingga 1972 sendiri Soviet telah meluncurkan begitu banyak satelit. Diantaranya, adalah Lunokhod (1970), Mars 1 (1962), Mars 2 (1971), Oreol 1 (1971), Prognos 1 dan Prognos 2 (1972), dan Proton 1 sampai Proton 4 (1965-68). Selain itu juga diluncurkan wahana ruang angkasa berawak untuk misi-misi di ruang angkasa, seperti Cosmos 133 hingga Kosmos 419 (1967-1971), dan Soyuz 2 sampai Soyuz 11 (1968-1971).
Bertengkar di ruang angkasa
Memasuki tahun 70-an, persaingan di ruang angkasa antara Soviet dan AS ternyata menapaki tahap yang paling keras. Sedemikian kerasnya, sampai-sampai dalam beberapa proyek ruang angkasa, mereka menyisipinya dengan peluncuran satelit mata-mata. Ketika Ronald Reagan berkuasa, pada 1981, AS bahkan pernah mencanangkan program Strategic Defence Initiative (SDI) yang dikenal sebagai Perang Bintang. Sebuah proyek pemusnahan target-target militer dengan wahana ruang angkasa, baik yang ada di ruang udara Bumi maupun yang tengah mengintai di ruang angkasa. Tak mau kalah, Soviet pun sama-sama melontarkan konsep serupa.
Di lain pihak, mereka juga beberapa kali berupaya mencobakan pesawat-pesawat tempur mereka yang mampu terbang tinggi untuk 'membunuh' satelit-satelit militer. Dari sinilah kemudian muncul konsep Asat atau Anti-Satellite, yang dipaparkan pertama kali pada 1971.
Antara tahun 1973 hingga 1974, sebagian besar masyarakat Amerika dan Soviet mungkin hanya mengetahui bahwa program ruang angkasa negaranya adalah mengirim orang-orangnya untuk misi Skylab dan Soyuz. Tetapi di luar itu, masing-masing angkatan bersenjatanya kadang punya kepentingannya juga. Ada asap, ada api. Begitulah, peribahasa ini seakan pas untuk menggambarkan program militernya.
Soviet, misalnya, sejak 1968 mengirim satelit mata-mata Cosmos dengan alasan saingannya, AS, telah berkali-kali pula meluncurkan satelit yang sama dan sebangun. Bahkan, pesawat intainya pun kadang kepergok sedang berkeliaran. Terutama dengan pesawat-pesawat intainya yang mampu terbang tinggi (U2 dan SR-71). Rakyat AS baru benar-benar sadar bahwa negaranya memiliki pengintai seperti Key Hole (satelit yang mampu memotret detil plat nomor mobil), pada tahun 80-an.
Namun sebaliknya, pada 1978, Soviet sendiri pernah mengguncang dunia gara-gara salah satu satelit mata-matanya yang bertenaga nuklir jatuh ke Bumi. Satelit dari jenis RORSAT (satelit mata-mata untuk obyek di Lautan dengan radar) ini adalah Cosmos 954. Sejak itulah belang-belang Soviet di ruang angkasa sedikit demi sedikit terbuka. Satelit heboh ini jatuh di perairan barat-laut Kanada. Dalam permintaan ma'afnya, pemerintah Soviet mengeluarkan uang sebesar enam juta dollar sebagai ongkos untuk membersihkan perairan tersebut dari bahaya pencemaran radioaktif.
Namun, kecelakaan itu bukanlah yang terakhir. Pada Februari 1983, sebuah satelit mata-mata lain, Cosmos 1402 juga menghujam ke Bumi. Dia jatuh di Atlantik Selatan. Serial Cosmos pun dihentikan pada 1984.
Dalam hal ini, uniknya AS lebih rapih dalam menyamarkan misi mata-mata ruang angkasanya. Mereka selalu berdalih kepada dunia, bahwa satelit mata-matanya tak lain digunakan untuk mencegah Soviet melakukan serangan militer yang brutal terhadap negara-negara sekitarnya. Pada masa itu, AS memiliki penyadap sinyal elektronik Rhyolite dan Aquacade yang diluncurkan awal 70-an.
Begitulah, hingga mencapai puncaknya pada tahun 80-an, kedua digdaya yang saling berseteru dan bersaing itu tanpa sadar telah menumpuk begitu banyak satelit-satelit militer di ruang angkasa. Satelit-satelit itu berasal dari jenis: mata-mata (recon), meteorologi, satelit serang bersenjata laser (untuk Asat), navigasi, komunikasi, dan satelit peringatan dini.
Persaingan hancur begitu saja ketika Reagan berhasil menyakinkan Soviet bahwa negaranya tak main-main dalam program Star War. Soviet terpancing membelanjakan sebagian besar uangnya untuk menandinginya hingga akhirnya bangkrut tanpa mendapat hasil apa-apa. Reagan sendiri tak pernah benar-benar merealisasikan Star War.
Stasiun ruang angkasa
Disinilah hebatnya Amerika. Sementara mengikuti keinginan Soviet, sejak tahun 60-an NASA rupanya telah melakukan sebuah persiapan untuk mencapai target yang sesungguhnya. Persiapan ini nampak dari perancangan sebuah kendaraan ruang angkasa yang dimasa datang ditargetkan menjadi tulang punggung misi eksplorasi ruang angkasa. Dia adalah pesawat ulang-alik yang dapat digunakan berulang-ulang.
Eksperimennya telah dimulai sejak tahun 1959, yakni lewat program X-15. Lalu, dilanjutkan dengan X-20/Dynasoar, ulang-alik kecil yang kemudian dibatalkan pada 1963, namun dilanjutkan dengan versi lain, ASSET, antara 1963-65. Dan, terakhir dengan PRIME antara 1966-67, sebuah program pengujian model lifting-body untuk kecepatan orbit-dekat. Puncak dari semua riset ini adalah Columbia, ulang-alik pertama yang diluncurkan pada 20 Februari 1981.
Pesawat tersebut seakan memberi kemudahan bagi Amerika untuk melakukan penelitian diruang angkasa, langkah bertahap menuju target yang lebih besar, yakni mendirikan stasiun ruang angkasa. NASA sendiri berkeyakinan, inilah mekanisme yang paling benar. Hal ini telah menjadi target yang harus direalisasikan, terutama setelah Presiden Reagan didampingi Administrator NASA James Beggs pada 1 Desember 1983 secara resmi menyatakan membatalkan program SDI dan menggantinya dengan Freedom nama stasiun ruang angkasa yang diajukan NASA. Sebuah keputusan yang tentu saja membuat kecewa pihak Departemen Pertahanan, badan intelejen CIA, dan Dewan Eselon Tertinggi (SIG), yang telah merasa yakin bisa menggolkan SDI.
Namun, ketika badan ruang angkasa ini tengah sibuk mengembangkan kemampuan pesawat ulang-aliknya dan menyusun konsep stasiun ruang angkasanya, sebuah berita dari Soviet pada 19 Februari 1986 menyentaknya. Seperti kisah Sputnik dan Yuri Gagarin, AS kembali terguncang dengan keberhasilan Soviet meluncurkan komponen pertama Mir, stasiun ruang angkasa generasi baru mereka. Perkembangan ini diikuti seksama hingga pada 13 Maret 1986, Soviet berhasil mengirim dua awak pertamanya, Leonid Kazim dan Vladimir Solovyev.
Pada dekade 80-an, ini adalah guncangan kedua. Guncangan pertama terjadi pada 28 Januari 1986, yakni ketika satu dari lima pesawat ulang-aliknya, Challenger, meledak sesaat setelah melesat ke udara menelan korban ketujuh awaknya. Rakyat AS berkabung dibuatnya. Ini adalah kecelakaan terhebat kedua setelah tragedi Apollo 1. Namun, di tengah perkabungan tersebut Reagen berhasil mendongkrak semangat NASA dengan kata-kata: "Tidak ada masa depan yang cuma-cuma."
Tak mau terulang untuk ketiga kalinya, NASA segera mengadakan evaluasi besar-besaran, hingga mempengaruhi deretan program yang telah disusun lima tahun ke depan. Di antara yang terpengaruh adalah peluncuran astronot Indonesia, Dr Pratiwi Sudharmono (batal) dan peluncuran teleskop Hubble (semula 1986, akhirnya baru diluncurkan 24 April 1990).
Pada tahun 1988, NASA akhirnya mengumumkan secara resmi pendirian Freedom akan menelan dana setidaknya delapan milyar dollar. Namun, meski telah mendapat dukungan penuh Reagan, NASA belum bisa melangkah lega. Kongres AS berkali-kali berhasil menjegal konsep yang dinilai kelewat mahal ini. Tak ada pilihan lain bagi NASA kecuali menuruti permintaan Kongres untuk terus-menerus menyederhanakannya, menjadi: yang termurah, cepat mendirikannya, namun juga yang terbaik.
Perancangan ulang dengan tiga kriteria itu ternyata memang tak mudah. Bertahun-tahun NASA tak pernah mencapai desain yang ideal. Hingga akhirnya pada Oktober 1993, Presiden Bill Clinton tak kuasa menahan kegeramannya lalu marah.
"Kita tak bisa terus-menerus begini. Kini, dalam tempo 90 hari, beri saya tiga opsi. Pertama, opsi A seharga 5 milyar. Kedua, opsi B yang seharga 7 milyar. Dan, opsi ketiga, C, yang seharga 9 milyar," ujar Clinton.
Setelah berkali-kali pula mentah, Administrator NASA Dan Goldin mencari taktik lain. Pada 6 Juni 1992, diam-diam ia menemui Yuri Koptev, Kepala Badan Ruang Angkasa Rusia, untuk ikut mendukung pembuatan sang stasiun. Goldin yakin benar, pengalaman Rusia bisa ikut menekan biaya pendirian, karena sebagian besar dana memang akan terserap pada tahap inisiasi yang belum dikuasai sepenuhnya oleh AS. Menyimak proyek Mir-nya yang tengah kembang-kempis kekuarangan dana, Koptev pun menyambutnya dengan senang hati.
Diwarnai beberapa kali kesalahpahaman, kedua negara yang dulu bermusuhan itu akhirnya bertaut juga di ruang angkasa. Antara 4 sampai 17 Desember 1998, Rusia berhasil menggandengkan modulnya, Zarya, dengan modul AS, Unity, di ketinggian 240 mil. Ini adalah awal pendirian Stasiun Ruang Angkasa Internasional yang rencananya bisa berdiri utuh pada tahun 2004. Selain Rusia, Goldin juga berhasil menggaet Jepang dan 13 negara Eropa.
Menurut catatan Angkasa, pendirian SRAI tak pelak merupakan puncak pencapaian teknologi keruangangkasaan pada abad 20. Karena, selain menguji kemampuan dan teknologi, pada stasiun inilah ke-16 negara juga diuji untuk bekerjasama. Bekerjasama mendirikan stasiun yang diharapkan bisa meningkatkan harkat umat manusia. Betapa pun, di tengah-tengah upaya pendirian itu, pada 4 Juli 1997 AS juga berhasil mengirim wahana tak berawak Pathfinder ke Mars dan masih banyak lagi wahana lainnya, SRAI tetap dikenang sebagai puncak dari teknologi keruangangkasaan abad kemarin.

No comments: