Andaikan Ada Sukhoi
Gelar Kekuatan di Awal Milenium
Kalau Indonesia dulu jadi membeli penempur Sukhoi Su-30KI yang ditawar-kan Rusia, mungkin saja intensitas pe-nyusupan pesawat tempur asing yang kini tersinyalir makin kerap khususnya di bagian Timur dan Tenggara itu tidak akan terjadi. Disadari banyak pihak, penempur Flanker punya daya penggetar (detterence) sangat tinggi.
Su-30KI masih merupakan varian Su-27 - AviationInternational News
Menarik untuk menyimak kembali fenomena yang terjadi belakangan ini menyangkut keamanan wilayah udara nasional Indonesia. Lepasnya Timtim dari wilayah kesatuan RI secara langsung telah membuka celah baru bagi pihak-pihak yang sudah lama 'mengintai' maupun melakukan 'ulah', lepas dari semua kesan sengaja atau tidak. Yang jelas terasa, bahwa kondisi negara yang tengah morat-marit karena berbagai masalah internal ini, telah menjadikan ruang udara kita laksana ajang unjuk psy-war yang empuk bagi negara-negara yang menyembunyikan kepentingannya tersebut.
Harus realistis memang, dengan kondisi armada perang yang cuma segitu yang kini dimiliki TNI AU, kekuatan tempur udara kita jelas terukur oleh negara lain. Itulah, mungkin, yang menyebabkan para pemancing keonaran itu sekarang tak lagi merasa gentar menembus batas wilayah udara RI. Toh, bila kita buka sejarah, bukankah dengan kesatuan tempur udara yang lengkap, seperti era 1960-an, saat AURI memiliki armada lengkap mulai dari pesawat pemburu, fighter, hingga pembom jarak jauh, Indonesia disegani bahkan ditakuti di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik?
Faktor politis dan keuangan negara boleh jadi yang kemudian menjadi kunci utama 'penghambat' tumbuhnya pengembangan perangkat dan alutsista pertahanan udara kita. Logikanya jelas, jangankan untuk membeli pesawat, memenuhi tuntutan rakyat soal kebutuhan perut, kesejahteraan, dan keadilan pun pemerintah sudah kalang kabut dan dibuat pusing. Belum kalau menengok utang negara yang makin membesar dan lainnya. Sangat kompleks.
Namun satu. Diluar semua masalah tersebut, negara tentu harus tetap waspada. Bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Ancaman dari luar tetap ada, termasuk soal kedaulatan wilayah udara yang kini tengah diusik pihak asing itu.
Dogfight
Sebelum krisis moneter benar-benar terjadi, Agustus 1997 kabar menggembirakan pernah kita dengar. Bahwa pemerintah melontarkan rencana untuk membeli 12 penempur Su-30KI. Pesawat rancangan biro desain Sukhoi (Sukhoi OKB) biro produsen pesawat tempur terbesar kedua di Rusia setelah MiG petanding F-15 Eagle Amerika yang secara strict tidak dilepas AS ke banyak negara.
Mengapa rencana pembelian Su-30KI itu menjadi istimewa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, bahwa pemerintah Indonesia terkesan berani mengambil sikap, dengan beralih lagi ke Blok Timur menyikapi tindakan Washington yang menjegal niat pembelian sembilan F-16 dari Pakistan, Juni 1997, dengan dalih HAM. Kedua, karena Su-30KI adalah penempur letal.
Bahkan bagi negara Barat, bisa jadi dinasti Sukhoi Flanker benar-benar sebuah momok. Untuk soal ini, ada sebuah "laporan" yang ditulis Aleksei Zacharov dalam majalah kedirgantaraan terbitan Rusia, Air Fleet, No 11 Tahun 2000. Bahwa di tahun 1992, secara diam-diam pilot-pilot tempur Rusia telah berhasil menantang pilot tempur AS untuk menduelkan Flanker dengan seterunya, Eagle.
Ceritanya juga sedikit lucu, karena pihak Rusia-lah yang terus-menerus melobi dan ngotot untuk melakukan tarung udara itu. Alhasil, kunjungan yang sepenuhnya dibayar tim militer beruang merah itu terwujud dalam sebuah mock air battle di kandang laga AS. Rusia membawa sang fore father dinasti Flanker, Su-27. Sementara AS, mengandalkan F-15 versi kursi ganda (twin seat).
Dalam pergulatannya, Flanker berhasil "melucuti" Eagle. Hal serupa yang ternyata tidak bisa dilakukan F-15. Itulah sebabnya, pihak AS merasa tak enak badan dengan menyebut dogfight itu hanya sebatas joint manoeuvring dalam press release-nya yang ketat.
Sukhoi 30KI itu
Di medan pertempuran Su-30KI merupakan lawan seimbang F-15 Eagle - Aviation International News
Akan halnya Su-30KI, penempur ini adalah varian Su-27 yang diupgrade Sukhoi OKB agar berkemampuan jelajah jauh disamping peningkatan instrumen avionik dan daya gempurnya. Jarak jelajahnya pada high altitude serta combat radius-nya adalah 1,8 hingga 2,3 kali dari kemampuan lima penempur generasi sama dan dua penempur generasi empat plus. Kesemuanya buatan Barat.
Mereka adalah Boeing F/A-18 Hornet, Boeing F-15 Eagle, Grumman F-14 Tomcat, Dassault Mirage 2000, Lockheed-Martin F-16 Fighting Falcon, Saab JAS 39 Grippen, serta dua penempur Eurofigter EF 2000 Typhoon dan Dassault Rafale.
Sukhoi 30KI mampu mencapai jarak terbang hingga 3.600 km sementara penempur lain tidak lebih dari 2000 km. Padahal jarak itu dicapai Su-30KI tanpa penambahan drop tank dan inflight-refuelling. Sementara radius tempurnya lebih dari 1.100 km. Kecepatan Su-31KI mencapai mach 2. Angka ini tercapai berkat penggunaan dua mesin afterburner turbofan Al-31F buatan Lyul'ka Saturn.
Soal avionik Su-30KI juga boleh sombong. Karena tidak lagi menggunakan panel-panel obsolete (kuno) seperti pada versi pertama Su-27 yang selalu jadi bahan ejekan pihak Barat. Su-30KI telah menggunakan multi-channel avionics. Perangkat yang belum digunakan oleh penempur lain kecuali nanti akan diturunkan pada penempur Rafale dan Typhoon.
Radar konvensional pada Su-30KI memang tidak dicabut, namun ditameng oleh perangkat pandang optik elektrik (electro optical sight). Penambahan ini memberikan presisi target-tracking yang sangat akurat bagi pilot dalam dogfight. Sehingga penjejakan jarak tembak pun tidak salah. selain itu sistem presentasi data sudah moderen dengan menerapkan LCD (liquid-cristal display) warna. Untuk meningkatkan kapabilitas avionik ini biro desain Sukhoi bekerjasama dengan lembaga riset Tikhomirov NIIP, dan desain biro instrumentasi Ramenskoye.
Bagaimana dengan persenjataannya? Data lengkap perbandingannya dapat dilihat pada tabel. Yang jelas Su-30KI unggul mulai dari senjata kanon 30 mm, jelajah rudal jarak menengah, jelajah rudal jarak dekat serta penggunaan rudal R-73E yang kini diakui sebagai yang terbaik di kelasnya.
Su-30KI juga kini dilengkapi dengan persenjatan non-guided udara ke darat seperti bom lepas bebas (free fall bom), teromol bom bakar (incendiary canister) serta roket tipe S-8, S-13 dan S-25. Hal ini juga sebagai jawaban Sukhoi akan kekurangan versi pertama Su-27 yang dinilai tidak mampu melakukan ground attack.
Persenjataan perang Su-30KI akan semakin komplit, karena dalam versi penyempurnanya, Su-30KI juga akan dilengkapi dengan rudal-rudal kendali udara-darat yakni Kh-31P dan Kh-29T/L serta bom pintar KAB-500Kr/L dan KAB-1500Kr/L.
Dengan semua keunggulan ini, memang rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan penempur yang dibuat di industri pesawat Komsomolsk-on-Amur, Irkust, Rusia ini sebagai yang terbaik untuk penempur generasi keempat.
Industri pesawat militer Rusia, Sukhoi, boleh bangga dengan dinasti Flanker-nya. Karena penempur ini menjadi salah satu penempur utama yang digunakan RusAF (AU Rusia) dan banyak digunakan juga oleh negara-negara commonwealth (CIS).
Apalagi di keluarga Flanker Su-30KI tentu bukan satu-satunya model. Ia hanyalah satu dari sekian versi jual. Sukhoi masih punya sederet Flanker. Sebut saja beberapa yang rada familiar seperti Su-30 M twin seat Multirole Fighter, Su-32FN side-by-side Patrol Fighter (penghancur kapal selam), Su-33 Shipborne Fighter (versi penghuni kapal induk), Su-34 Tactical Bomber, dan generasi terakhir Su-35 serta Su-37 high manoeuvrability Multirole Fighter. Bahkan kabarnya dari Su-37 pun kini tengah digodok versi generasi empat++ dengan embel-embel Terminator.
Mencermati kenyataan ini boleh dibilang Amerika kebakaran jenggot. Namun bukan tanpa perlawanan. Tahun 2004 AS akan meluncurkan penempur paling mautnya F-22 Raptor yang dibuat Lockheed-Martin. Penempur generasi kelima itu akan mengganti F-15 Eagle saat Rajawali besi nanti masuk usia 30 tahun. Flanker pun diramalkan tidak akan mampu berkutik. Jawaban Rusia mungkin akan tertumpu pada pengembangan Su-37 bernama Terminator itu.
Asia Pasifik
Di Asia Pasifik, setidaknya saat ini penempur Flanker sudah bercokol di dua kesatuan AU negara besar yakni China dan India. AU China (PLAAF- People's Liberation Army Air Force) membeli 24 Flanker tahun 1992 dari model Su-27SK dan Su-27UBK seharga 1,5-1,7 milyar dollar AS atau 32-35 juta dollar AS per-satu pesawat.
Yang menarik, Rusia memberikan bonus dua Su-27SK serta memberi tawaran untuk meng-upgrade-kan Flanker sesuai yang diinginkan China.
Hingga tahun 1998 ada 3 negara di Asia Pasifik yang sudah menggunakannya - Air Fleet
Kelonggaran yang diberikan Rusia ini boleh dibilang menguntungkan China. Karena akhirnya negeri tirai bambu itu diberi lisensi untuk memproduksi 200 Su-27SK selama lima tahun dari 1995-2000. Berarti, China melalui industri pesawatnya yang terletak di propinsi Shenyang memproduksi 40 pesawat pertahun. Pesawat itu diberi kode J-11 dan China memutuskan untuk tidak menjualnya. Tapi meski begitu, China juga masih membeli 20 Su-30MKKI dari Rusia.
Apa yang dilakukan Rusia terhadap China ternyata dilakukan pula terhadap India. India yang membeli 40 Su-30MKI pada November 1998 juga mendapat kemudahan sama. Fitur tambahan seperti canard, dan upgrading avionik diberikan. India memang menginginkan Sukhoi yang dibelinya dilengkapi dengan peralatan avionik buatan Perancis dan Israel. Beda dengan China yang sepenuhnya percaya pada avionik yang dibuat industri Rusia. Sehingga dari sini saja kita bisa melihat bahwa Su-30MKI dengan MKKI sudah berbeda. Padahal keduanya adalah Su-30MK.
Kepada India, selain memberi bonus pesawat, Rusia juga memberi lisensi produksi Sukhoi-30MK sebanyak 100 buah. Mulai tahun 1999, melalui industri pesawatnya, Hindustan Aeronautics Ltd (HAL), yang berlokasi di Nasik, India membantu pembuatan delapan hingga sepuluh unit Su-30MK pertahun.
Mengapa Rusia (khususnya Sukhoi) terkesan begitu ringan memberikan lisensi produksi kepada negara pemakainya? Direktur Irkust Aviation Production Association (IAPO) Aleksei Fedorov, memberikan jawaban diplomatis saat diwawancarai Nezavisimoye Voyennoe Obozreniye (jurnal militer Rusia). "Apapun dapat dilakukan di setiap negara yang membeli pesawat kami di fasilitas industri pesawat negara bersangkutan," ujarnya (Aviation International News, 22 Februari 2000).
Hingga tahun 1998, sudah tiga negara yang menjadi pengguna Su-27 dan Su-30 di kawasan Asia Pasifik. Yang bikin kaget karena satu negara pemakai lainnya adalah Vietnam. Bahkan sebenarnya Vietnam lebih dulu dari India. Tahun 1995, negara Vietnam menerima pesanan enam pesawatnya (lima Su-27SK, satu Su-27UBK). Tahun berikutnya, kembali Vietnam memesan enam pesawat dari jenis yang sama. Namun penerbangan Antonov-124 yang membawa penempur itu jatuh di Irkust Airfield, menghancurkan pesawat pengangkut dan Su-27. Baru pada Januari 1998 dua pesawat datang, hingga akhirnya genap 12 Flanker dimiliki negeri Vietnam. Sebenarnya hingga menjelang krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia tenggara awal 1998 itu, tercatat tiga negara baru yang berniat membeli Flanker. Ketiganya adalah Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Rusia menawarkan Su-30KI kepada Indonesia dan Malaysia. Sementara Korea Selatan lebih tertarik kepada versi Su-35 dan Su-37 yang lebih mutakhir.
Tampaknya negeri jiran dan negeri Ginseng lebih berpeluang untuk mewujudkan kembali niat pembeliannya. Akan halnya Indonesia, kemungkinannya masih tetap ada bila kondisi ekonomi, politik, dan keuangan negara benar-benar pulih. Sehingga dalam menghadapi ancaman dari luar tidak sekadar tinggal banyak-banyak berdoa saja, seperti dicandakan seorang kawan!
Thursday, April 3, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment